Amri Yahya adalah sosok yang tak hanya pintar melukis
batik tapi juga mencermati dan mengkritisi sikap bangsa Indonesia dalam
memperlakukan batik. Ia sangat sedih luar biasa saat mengetahui
Malaysia berupaya mematenkan batik sebagai karya negeri jiran tersebut.
”Padahal dunia luar sudah lama mengetahui dan mengakui bahwa batik
adalah milik bangsa Indonesia. Hampir di seluruh wilayah Indonesia
mengenal seni batik. Ini merupakan kesalahan kita sendiri, karena kita
kurang menghargai apa yang disebut hak paten,” katanya.
Ia
begitu dikenal sebagai pelukis batik yang tersohor hingga mancanegara.
Kesetiaannya terhadap dunia seni itu telah mengantarkan ia meraih gelar
doktor dan profesor honoris causa. Amri yang kesehariannya juga menjadi dosen itu pun disebut-sebut sebagai perintis terkemuka dalam seni lukis batik kontemporer.
Pilihannya
menjadi pelukis batik, bukan hanya karena ingin mencari sesuatu yang
lain tapi juga karena ia ingin menjaga salah satu akar seni tradisional
Indonesia. Karena itulah, dalam wawancara dengan wartawan sebelum ia
wafat, Amri sempat menyatakan kesedihannya ketika ada negara lain yang
mengklaim batik sebagai karya budaya mereka. Wajar jika sepanjang
perjalanan hidupnya, ia total mendedikasikan diri bagi upaya menjaga dan
melestarikan batik Indonesia. Saking cintanya kepada batik, setiap kali
ayah empat anak ini diundang untuk pameran dan ceramah ia selalu membawa perabotan membatik dan melukis secara lengkap seperti kompor kecil, canting, lilin dan lainnya. Disela ceramahnya, ia mendemonstrasikan keahlian melukis batik.
Pria yang melukis dengan media acrylic, acquarel, cat minyak dan menekuni media batik sebagai media ungkap ini telah berhasil menelurkan ribuan karya lukisan batiknya baik yang berukuran kecil dan besar yang dipampang dalam bingkai. Tapi tak sedikit motif-motif abstrak batiknya juga digunakan untuk busana dengan memilih lebak-lebung atau panorama alam sebagai subject matter sebagai potret sebagian besar rakyat Indonesia yang hidup dikawasan pedesaan. Karya-karya lelaki asli Palembang yang puluhan tahun menetap di Yogyakarta ini pernah dipamerkan di Australia, Jerman, Amerika Serikat, Mesir, Inggris, Belanda, Kanada, Denmark, Syria, Jepang dan tentu saja diberbagai kota di
Indonesia. Tak sedikit pejabat negara dan lembaga di dalam maupun di
luar negeri yang mengoleksi karya lukis yang dipamerkannya sejak tahun
1957.
Apa
yang membuat Amri memilih dunia seni lukis sebagai bagian hidupnya?
“Karena pekerjaan ini jauh dari korupsi,” jawabnya dalam sebuah
wawancara. Sempat kepincut menjadi penyair dan tentara namun urung di
tengah jalan. Dalam hal seni rupa dan kaligrafi lukis ia sempat
menuturkan bahwa inspirasi untuk membuat warna-warna dalam seni ini bisa
didapat dari struktur keindahan sayap butterfly atau
kupu-kupu. Warna yang ada pada hewan tersebut sangat natural dan khas,
warna yang dijumpai bisa macam-macam, bisa warna yang terkesan redup
atau warna yang terkesan cerah, sehingga sangat menarik untuk dijadikan
inspirasi dalam berkarya. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam
warna-warna karya lukisnya terutama kaligrafi yang tampak ekspresif dan inheren dengan unsur warna kupu-kupu (hasil dari wawancara dan pengamatan langsung).
Ia
juga merasa gundah karena kebanyakan dari kita menganggap batik bukan
karya seni, tapi barang kerajinan. “Jadi menganggap nilainya rendah, dan
kurang pantas dipamerkan sebagai karya seni. Padahal di luar negeri
seperti Jerman, Inggris dan Australia serta Amerika Serikat setiap tiga
bulan sekali sekali menyelenggarakan pameran,” keluhnya.
Kegigihannya
menjaga dan mengajak bangsa ini untuk mencintai batik belakangan sudah
mulai menunjukkan hasil. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah
menetapkan batik sebagai peninggalan budaya Indonesia. Namun lebih dari
itu, batik kini menjadi pilihan busana prioritas umumnya masyarakat
negeri ini yang menjadikan batik sebagai pakaian sehari-hari. Sebuah
kebanggaan yang dapat dirasakan setelah sang maestro pergi menghadap
Sang Khalik pada 20 Desember 2004.
Source : http://www.islamkaligrafi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar